Namun, setelah kematian suaminya, Pangeran Mirza Bedar Bukht pada tahun 1980, Sultana dan keturunannya jatuh miskin.
Para pewaris Dinasti Mughal dipaksa tinggal di gubuk dengan hanya 2 ruangan di Howrah, area kumuh di Kolkata. Sultana bahkan harus berbagi dapur dengan para tetangga, mencuci pakaian juga perkakas di jalan menggunakan fasilitas keran air publik.
Meski punya bukti kuat yang tak terbantahkan sebagai kerabat kerajaan dari Abad ke-19, Sultana hanya bisa pasrah dari uang pensiun yang jika dirupiahkan sebesar Rp 1,09 juta sebulan.
Sultana tinggal bersama putrinya yang belum menikah, Madhu Begum. Anda berpikir uang pensiun tersebut lumayan banyak untuk ukuran India? Ya, jika hanya untuk Sultana dan putrinya.
Dengan uang sejuta itu, Sultana membiayai hidupnya, juga mendukung hidup enam anaknya --5 putri dan 1 putra beserta keluarga mereka.
"Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kami bisa bertahan hidup," kata dia, seperti dimuat Daily Mail, 18 September 2013.
"Putri-putriku yang lain dan para suami mereka juga orang miskin. Mencukupi kebutuhan mereka sendiri saja sulitnya bukan main, tak mungkin bisa membantu."
Beberapa tahun terakhir, nasib Sultana menjadi sorotan sejumlah aktivis, yang mencoba melobi pihak berwenang, agar mereka memberi perhatian pada keturunan maharaja India. Apalagi, kebanyakan dari para bangsawan jatuh miskin, tak punya apa-apa, setelah penguasa Inggris mengakhiri Dinasti Mughal --yang melawan penjajah.
Pemerintah akhirnya memberikan pekerjaan untuk cucu Sultana, Roshan Ara, dengan gaji lumayan, setara Rp 2,7 juta. Namun, sebagian besar keluarga Sultana buta huruf --bahkan tak memenuhi syarat minimal untuk dipekerjakan.
Sultana pun harus banting tulang mencukupi kehidupan keluarga besarnya. Awalnya ia membuka kedai teh, yang kemudian tutup. Ia pun kini banting setir jadi penjahit pakaian perempuan India.
"Saya merasa bahagia ada beberapa orang yang membantu kami," kata dia.
Namun, melarat sekalipun, Sultana tak sudi mengemis. "Almarhum suamiku, Muhammad Bedar Bakht --putra Jamshid Bakht dan cucu Jawan Bakht, selalu menekankan, kami adalah keluarga terhormat, yang pantang mengemis."
Sultana menambahkan, tuntutannya kepada pemerintah selama ini, bukanlah mengemis. Ia hanya meminta hak keluarganya dipenuhi.
Wariskan Taj Mahal
Hidup Sultana kontras dengan kejayaan nenek moyangnya dari Dinasti Mughal --yang meninggalkan banyak warisan arsitektur di sub-benua India selama Abad ke-16, 17, dan 18.
Salah satunya Taj Mahal, monumen megah berlapis marmer yang dibangun Shah Jahan, untuk mengenang istrinya, Mumtaz Mahal, yang hingga kini diasosiasikan sebagai simbol cinta.
Maharaja Dinasti Mughal itu juga membangun Benteng Merah (Red Fort), Benteng Agra, dan Taman Shalimar di Lahore --yang ini dipersembahkan Shah Jahan untuk istrinya yang lain, Nur Jahan. Sebagian besar tinggalan dinasti tersebut masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO.
Sementara, Maharaja Bahadur Shah Zafar, kakek buyut langsung suami Sultana, naik tahta pada 1837. Ia adalah maharaja terakhir dari dinasti yang pernah memerintah India selama 3 abad.
Pada 1857, rakyat India bersatu dan memberontak melawan penguasa asal Inggris. Bahadur Shah Zafar menjadi panglimanya.
Namun, perlawanan itu dipatahkan Inggris --yang lebih maju soal strategi dan persenjataan-- pada tahun 1858. Sang Maharaja diasingkan ke Rangoon, di tempat yang jauh dari negerinya, Bahadur Shah Zafar tinggal selama 5 tahun hingga kematiannya pada usia 87 tahun.
sumber | oke77.blogspot.com | http://news.liputan6.com/read/697240/keturunan-raja-pendiri-taj-mahal-hidup-sengsara-di-kampung-kumuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar